Suku Batak Mandailing
 |
| Bagas Godang Singengu/Rumah Tradisional Raja di Mandailing |
Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami
Kabupaten Mandailing Natal,
Kabupaten Padang Lawas,
Kabupaten Padang Lawas Utara,
Kabupaten Tapanuli Selatan,
Kabupaten Labuhanbatu,
Kabupaten Labuhanbatu Utara,
Kabupaten Labuhanbatu Selatan,
Kabupaten Asahan, dan
Kabupaten Batubara di
Provinsi Sumatera Utara beserta
Kabupaten Pasaman dan
Kabupaten Pasaman Barat di
Provinsi Sumatera Barat, dan
Kabupaten Rokan Hulu di
Provinsi Riau.
Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal
ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Pada masyarakat
Minangkabau,
Mandailing atau Mandahiliang menjadi salah satu nama suku yang ada pada masyarakat tersebut.
Asal Muasal Nama
Mandailing atau
Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan
Holing, yang berarti sebuah wilayah
Kerajaan Kalinga.
Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum
Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman
yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan
Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja
Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja
Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah
Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan
Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan
nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk
Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni
mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.
[3] Dalam
Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai
mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari
Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Mandailing Bukan Batak
Dalam hal ini banyak sejarahwan asing menjadikan Mandailing menjadi
sub etnis dari Batak mulai pada masa pemerintahan Belanda, padahal
orang-orang Mandailing sendiri menolak untuk disatukan dalam etnis Batak
dalam administrasi pemerintahan Belanda pada awal abad 20 lalu, yang
dikenal sebagai
Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan
pada tahun 1925, yang berlanjut ke pengadilan. Hingga akhirnya,
berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di
Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena
etnis Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing
berdasarkan silsilah yang diakui etnis Batak sendiri Tarombo si Raja
Batak,- nenek moyang orang Batak, yang ibunya yang bernama Deak Boru
Parujar berasal dari etnis Mandailing. Etnis Mandailing sendiri menurut
silsilahnya berasal dari etnis Minangkabau.
Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing
(Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara
adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara
Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang
berasal dari huruf
Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara
Rencong dari
Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan
Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan
urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut
pustaha (
pustaka).
Namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum
abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan
tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan
buruk, serta ramalan mimpi.
Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal
maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal
marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara lain
Lubis,
Nasution,
Harahap,
Pulungan,
Batubara,
Parinduri,
Lintang,
Hasibuan,
Rambe,
Dalimunthe,
Rangkuti,
Tanjung,
Mardia,
Daulay,
Matondang, dan
Hutasuhut.
Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang
Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah yang
menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin
semarga, maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang
dari etnis Mandailing apabila terjadi perkawinan semarga, maka mereka
hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau
kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat
itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial
masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di perantauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar